Senin, 25 Mei 2009

Wasiat

Wasiat

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan ( tanda – tanda ) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu - bapak dan kaum kerabatnya secara ma'ruf. ( Ini adalah ) kewajiban atas orang - orang yang bertaqwa. ( Al Baqarah : 180 )

1. Arti Dan Pengertian Wasiat
Perkataan wasiat itu berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata was - sha. Artinya menurut ilmu bahasa ialah pesan, petaruh, nasehat, dsb. Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang yang akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya


Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al Quran - seperti yang dikutip di atas - seorang muslim yang sudah merasa ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian ( hibah ) dari hartanya untuk ibu - bapak dan kaum kerabatnya, apabila ia meninggalkan harta yang banyak. Timbul pertanyaan: Mengapa pada ayat tersebut dikhususkan wasiat tentang pemberian harta itu kepada ibu - bapak dan kaum kerabat ( saudara dekat )? Bukankah ibu-bapak itu termasuk ahli waris dari seorang anak yang meninggal, yang sudah ada hak-hak dan bagiannya menurut hukum faraid, pembagian harta pusaka?


Dalam hubungan ini perlu diuraikan lebih dahulu sejarah dan latar belakang turunnya ayat tersebut


Di jaman jahiliyah, kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya, mewasiatkan supaya memberikan hartabendanya kepada orang-orang yang jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu - bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut - sebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati


Untuk menertibkan sikap yang pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah ayat tersebut ( Al Baqarah, ayat 180 ), yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta benda yang ditinggalkan itu untuk ibu - bapak sendiri dan keluarga yang dekat - dekat. Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang terkenal dengan sebutan ayatul - mawarist ( permulaan surat An Nisa ), yang mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan


Dengan turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli - ahli tafsir berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut ( Al Baqarah, ayat 180 ) menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi sebagian ulama - ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Apalagi sewaktu - waktu masih mungkin ditemukan satu kasus yang pemecahannya dapat menggunakan ayat tersebut. Misalnya, kalau yang meninggal dunia itu seorang anak yang sudah masuk Islam, sedang ibu - bapaknya masih memeluk agama lain, maka orang tuanya itu tidak berhak mendapat pembagian harta warisan bila dipandang dari sudut hukum Islam, karena berlainan agama

Dalam kasus yang demikian itu, si anak dapat meninggalkan pesan supaya memberikan sebagian harta benda yang ditinggalkannya untuk orang tuanya itu, asalkan tidak melampaui ketentuan - ketentuan oleh hukum warisan. Dengan demikian, dilihat dari sudut ajaran Islam, anak tersebut, dapat menjalankan petunjuk Ilahi, yang memerintahkan:
"Dan Kami mewajibkan manusia ( berbuat ) kebaikan kepada kedua orang tuanya ( ibu – bapaknya )." ( QS. Al Ankabut : 8 )

2. Syarat - syarat Wasiat


Kecuali dalam Al Quran, pun Hadist Nabi banyak yang menggugah dan mendorong supaya melakukan wasiat itu. Diantaranya:
"Barang siapa mati dengan melakukan wasiat, maka matinya adalah pada jalan Ilahi dan menurut Sunnah, mati dalam keadaan bertakwa dan ( mengucapkan ) Syahadah, mati dengan mendapat ampunan." ( Riwayat Ibn Majah ).

Adapun syarat wasiat itu ialah:
1. Meninggalkan harta yang banyak.
2. Tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta.


Syarat yang pertama dan utama tentang kewajiban melakukan wasiat itu ialah apabila seseorang meninggalkan harta yang banyak. Ukuran mengenai harta yang banyak itu adalah relatif, sehingga berbeda - beda pendapat para ulama dalam menetapkan standar harta yang banyak itu.
Syekh Muhammad Abduh menyatakan, bahwa dalam menetapkan ukuran itu sangat bergantung kepada keadaan dan itikad baik seseorang, dengan memperhatikan keadaan zaman, kepribadian dan lingkungan rumah tangga. Di negeri yang gersang dan miskin, kalau yang mati meninggalkan harta 70 dinar misalnya, itu sudah termasuk dalam bilangan meninggalkan "harta yang banyak". Tetapi, bagi seorang Raja atau Wazir tentu lain pula ukuran yang dipakai menjadi tolok ukur. ( Tafsir Al Manar ).


Dalam hubungan ini, sebagai pedoman dapat digunakan keterangan dari dua buah hadist. Pertama, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sitti Aisyah ( isteri Nabi ), yang menceritakan seorang laki - laki mendatanginya dan menyatakan hasratnya untuk melakukan wasiat. Terjadilah dialog antara Aisyah dengan laki - laki tersebut, sebagai berikut:
"Berapa jumlah hartamu?"
"Tiga ribu dirham"
- sahut laki - laki itu
"Berapa banyak anakmu?"
"Empat orang!"

Aisyah kemudian membaca kalam Ilahi: ".....jika kamu meninggalkan harta yang banyak." Dia berkata seterusnya: "Harta itu ( 3000 dirham ) hanya sedikit. Tinggalkanlah untuk anakmu, itu lebih baik.”

Hadist yang kedua, yang diriwayatkan oleh Baihaqi, menyatakan:
"Ali bin Abi Thalib mendatangi seorang yang pernah mengasuhnya yang sudah dekat mau mati; dia mempunyai uang 600 - 700 dirham. Laki - laki itu bertanya: Haruskan aku berwasiat? Ali menjawab: tidak perlu, karena Allah SWT hanya bersabda "kalau meninggalkan harta yang banyak." Engkau tidak memiliki harta yang banyak; tinggalkanlah harta tersebut untuk ahli warismu."

Dari kedua hadist itu dapat disimpulkan, bahwa ukuran tentang "meninggalkan harta yang banyak" itu haruslah memperhitungkan kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, jangan membuat mereka itu kehilangan atau kekurangan hak menerima bagian harta pusaka.

Syarat yang kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Hal itu dijelaskan dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqash.
Pada suatu ketika, tatkala Sa'ad bin Abi Waqash sendiri merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia menemui Rasulullah dan bertanya:
"Ya, Rasulullah! Apakah boleh aku mewasiatkan seluruh hartaku?"
"Jangan!"
- sahut Rasulullah.
"Kalau separo, bagaimana?"
"Jangan!"
"Jika sepertiga?"
"Masih banyak. Jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka hidup meminta-minta kepada manusia."

Dari hadist ini, maka Jumhur Ulama menarik kesimpulan, bahwa tidak dibolehkan membuat wasiat lebih daripada 1/3 jumlah harta benda.


Di sinilah terletak nilai - nilai keadilan ajaran Islam hyang mempertimbangkan jangan sampai mengurangi hak - hak ahli waris menerima bagian mereka masing - masing, dan dengan sendirinya merugikan mereka.


3. Motif Dan Hikmah Wasiat


Motif dan hikmah melakukan wasiat itu bagi orang yang banyak mempunyai harta kekayaan ialah sebagai tambahan amal yang masih dapat dilakukan seseorang ketika ajalnya sudah hampir dan dekat. Wasiat itu barulah berlaku apabila orang yang bersangkutan sudah meninggal. Pada hakekatnya, wasiat itu adalah semacam hibah ( pemberian ) juga. Perbedaan antara hibah dengan wasiat ialah, bahwa hibah itu dilakukan ( diberikan ) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia masih hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu meninggal dunia.
Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau akan meninggal dunia, sebab memang beliau tidak meninggalkan harta yang banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat - sahabat banyak yang melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddiq yang mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya; Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4 dari kekayaannya. ( Tafsir Qurthubi).


Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama wasiat itu masih dalam batas - batas ketentuan ajaran dan hukum Islam. Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti yang diperingatkan dalam Al-Quran:
"Barangsiapa yang mengubah wasiat ( mengutak - atik wasiat ), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." ( QS. Al Baqarah : 181)

Adapun apabila sesuatu wasiat bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, tentu saja tidak boleh dilaksanakan, malah wajib ditinggalkan. Selain daripada wasiat harta di zaman "sekularisme" ini. Adapula orang yang mewasiatkan kalau dia mati, supaya jenazahnya dibakar, jangan dikuburkan walaupun waktu hidupnya dia mengaku sebagai seorang Islam. Wasiat yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan, karena bila dilaksanakan, maka orang yang menjalankannya akan memikul dosa.


Uraian ini adalah untuk menggugah hartawan Islam atau orang-orang yang merasa mempunyai harta yang banyak agar melakukan wasiat pada saat - saat menjelang kematiannya, sebagai tambahan amal ibadahnya pada detik - detik yang terakhir dari kehidupannya. Semoga kita semua beroleh hikmah setelah membaca uraian ini.

Rangkuman

1. Harta yang hendak diwasiatkan haruslah tidak lebih daripada sepertiga ( 1/3 ) daripada harta pusaka bersih kecuali mendapat persetujuan daripada ahli - ahli waris.

2. Penerimanya hendaklah bukan waris yaitu mereka yang tidak ada hak faraid atas wasiat itu kecuali mendapat persetujuan daripada ahli - ahli waris yang lain.

3. Jika penerima wasiat meninggal dunia, maka wasiat tersebut adalah batal.

4. Jika penerima wasiat meninggal dunia selepas menerima wasiat dan selepas kematian pewasiat, maka haknya boleh diwarisi oleh waris penerima

Hibah

Hibah

1. Pengertian Hibah

Hibah adalah memberikan suatu harta kepada orang lain tanpa tukaran ( imbalan ). Harta yang telah dihibahkan menjadi milik yang menerima dan tidak boleh menjadi milik yang memberi dan tidak boleh diambil kembali oleh orang yang menghibahkan tersebut

Memberikan harta dengan cara hibah termasuk salah satu kebijakan yang patut dilaksanakan dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

2. Dalil – dalil Hibah

Sabda Rasulullah SAW:
Artinya:” Dari Ibn Abbas, ia berkata, telah bersabda Nabi SAW: orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang muntah lalu memakan kembali muntahnya itu ( Muttafaq’alaih )

Sabda Rasulullah SAW:
Artinya:”Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas dari Nabi SAW: Ia bersabda: tidak halal seorang muslim member sesuatu pemberian, lalu ia tarik kembali, kecuali bapak ( boleh menarik kembali ) apa yang ia berikan kepada anaknya.”( HR. Ahmad dan Perawi dan disahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban dan Hakim )

3. Hukum Hibah

Pemberian hibah hukumnya mubah / boleh

4. Rukun Dan Syarat Hibah

a. Rukun hibah

1) Pemberian hibah ( wahib )

2) Penerima hibah ( mauhub lahu )

3) Barang yang dihibahkan

4) Penyerahan ( ijab Kabul )

b. Syarat hibah

1) Harta itu sepenuhnya milik penghibah

2) Harta itu jelas dan sudah ada

3) Harta itu bermanfa’at dan tidak dilarang oleh agama

5. Manfa’at Orang Yang Memberikan Hibah

Ada beberapa manfa’at orang yang memberi hibah sebagai berikut:

a. Akan terhindar dari sifat kikir dan bakhil

b. Akan terbentuk sifat dermawan di dalam dirinya

c. Akan dilapangkan rezekinya dan dimudahkan segala urusannya

d. Akan tumbuh kesadaran bahwa harta itu hanya titipan Allah SWT

6. Melaksanakan Hibah

Hibah hanya bisa dilalukan oleh orang dewasa. Untuk melakukan hibah ini memang cukup berat bagi orang yang selalu memikirkan untung ruginya. Sebaliknya orang yang mempunyai prinsip hidup tolong menolong, maka ia merasa tidak keberatan melepaskan sebagian hartanya untuk menolong orang yang membutuhkannya. Oleh karena itu, tanamkanlah sifat tolong menolong diantara teman – teman kalian yang sedang mengalami kesusahan / kesulitan

Pengertian Waris

Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.

Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukan bahwa islam adalah agama yang tertertib,teratur dan damai. Pihak-pihak yang berhak menerima warisan dan cara pembagiannya itulah yang perlu kita pelajari pada bab ini.

A. Pengertian Mawaris

Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti mempusakai harta orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan

orang yang telah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan ( lihat QS:Al - baqarah : 188 ). Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.

Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut:

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah

3. Bapak

4. Kakak dari bapak dan terus keatas

5. Saudara laki-laki sekandung

6. Saudara laki-laki sebapak

7. Saudara laki-laki seibu

8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung

9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak

10. Paman yang sekandung dengan bapak

11. Paman yang sebapak dengan bapak

12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak

13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak

14. Suami

15. Laki-laki yang memerdekakan si pewaris

( Keterangan no.1 – 13 berdasarkan pertalian darah. Jika lima belas orang itu ada, maka yang dapat menerima hanya tiga, yaitu anak laki-laki, suami, dan bapak ).

Ahli waris perempuan ada 10, yaitu sebagai berikut:

1. Anak perempuan

2. Cucu perempuan dari anak laki-laki

3. Ibu

4. Nenek dari ibu

5. Nenek dari bapak

6. Saudara perempuan kandung

7. Saudara perempuan bapak

8. Saudara perempuan seibu

9. Istri

10. Wanita yang memerdekakan si pewaris

( Keterangan no.1 - 8 berdasarkan pertalian darah. Jika 10 orang itu ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya lima orang yaitu, Istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung )

Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya lima orang yaitu, suami atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.

B. Dalil Tentang Mawaris

1. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.

Artinya:”Bagi orang yang laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya.baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”( QS. An Nissa:7 )

Selanjutnya lihat pula Qs. An Nissa ayat 11, 12, dan 176.

2. Dari hadits Rasulullah saw, ada yang menerangkan bagian warisan untuk saudara perempuan yang lebih dua orang, bagian nenek dari bapak dan dari ibu serta bagian cucu perempuan dari anak laki - laki dan lain-lain.

Zaid bin sabit adalah sahabat Rasulullah saw.dari kalangan Anshar yang berasal dari suku khajraj. Ia lahir di madinah tahun 11 SH/611M. Ia masuk islam pada tahun pertama hijriyah dan menjadi sekretaris Rasulullah saw. Untuk menulis wahyu yang turun, menulis surat - surat untuk pembesar kaum yahudi serta menjadi penyusun mushaf di masa khalifah Abu Bakar As Siddiq. Ia dikenal sangat ahli dalam ilmu Al Qur’an, tafsir, hadits dan khususnya faraid sehingga dijuluki Ulama masyarakat. Pada masa khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, ia menjabat sebagai mufti ( ahli fatwa ) yang paling berpengaruh dalam bidang faraid, bahwa Rasulullah sendiri pernah bersabda, ”Yang paling ahli dalam ilmu faraid di antara kalian adaah Zaid bin Sabit.”( HR.Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal ). Zaid bin Sabit wafat di Madinah pada tahun 45H/665M.

Artinya:” Sesungguhnya hak wali adalah untuk orang yang memerdekakan.”( Muttafakun alaih )

Artinya:” Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan sisanya untuk orang laki-laki yang paling berhak.”( Muttafakun alaih )

Artinya:” Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada orang yang memiliki hak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”( HR.Abu Daud )

C. Ketentuan Hukum Islam Tentang Mawaris

Berdasarkan ketentuan perolehan atau bagian dari harta warisan, ahli waris dapat dikatagorikan menjadi 2 golongan,yaitu sebagai berikut :

1. Zawil Furud

Zawil Furud adalah ahli waris yang perolehan harta warisannya sudah ditentukan oleh dalil Al Quran dan Hadits (lihat QS.An Nissa:11, 12, dan 176). Dari ayat Al Qur’an tersebut, dapat diuraikan orang yang mendapat seperdua, seperempat, dan seterusnya.

A. Ahli waris yang mendapa 1/2 , yaitu sebagai berikut:

1). Anak pempuan tunggal

2). Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki

3). Saudara perempuan tunggal yang sekandung

4). Saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada

5). Suami apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki ataupun perempuan) dari anak laki-laki

B. Ahli waris yang mendapat 1/4, yaitu sebagai berikut:

1). Suami apabila istrinya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki

2). Istri ( seorang atau lebih ) apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki

C. Ahli waris yang mendapat 1/8, yaitu istri ( seorang atau lebih ) apabila suami mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki

D. Ahli waris yang mendapat 2/3, yaitu sebagai berikut:

1. Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki ( menurut sebagian besar ulama )

2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki apabila anak perempuan tidak ada

( diqiyaskan kepada anak perempuan )

3. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung ( seibu sebapak )

4. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak

E. Ahli waris yang mendapat 1/3, yaitu sebagai berikut:

1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu, atau dia tidak saudara - saudara ( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau yang seibu

2. Dua orang atau lebih ( laki-laki atau perempuan ) yang seibu apabila tidak ada anak atau cucu atau anak

F. Ahli waris yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut:

1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai cucu ( dari anak laki-laki ) atau mempunyai saudara-saudara( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau seibu

2. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( laki-laki atau perempu an ) dari anak laki-laki

3). Nenek ( ibu dari ibu atau ibu dari bapak ). Nenek mendapat 1/6 apabila ibu tidak ada. Jika nenek dari bapak atau ibu masih ada, maka keduanya mendapat bagian yang sama dari bagian yang 1/6 itu

4). Cucu perempuan ( seorang atau lebih ) dari laki-laki apabila orang yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat apa-apa

5). Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( dari anak laki-laki ), sedangkan bapaknya tidak ada

6). Seorang saudara ( laki-laki atu perempuan ) yang seibu

7). Saudara perempuan yang sebapak ( seorang atau lebih ) apabila saudaranya yang meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Ketentuan pembagian seperti itu dimaksudkan untuk menggenapi jumlah bagian saudara kandung dan saudara sebapak menjadi 2/3 bagian. Apabila saudara kandungnya ada dua orang atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian

2. Asabah

Asabah adalah ahli waris yang bagian penerimanya tidak ditentukan, tetapi menerima dan menghabiskan sisanya. Apabila yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris yang mendapat bagian tertentu ( zawil furud ), maka harta peninggalan itu semuanya diserahkan kepada asabah. Akan tetapi apabila ada diantara ahli waris yang mendapat bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian asabah yang dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:

A. Asabah binafsih

Asabah binafsih yaitu asabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, diatur menurut susunan sebagai berikut:

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah asal saja pertaliannya masih terus laki – laki

3. Bapak

4. Kakek ( datuk ) dari pihak bapak dan terus keatas, asal saja pertaliannya belum putus dari pihak bapak

5. Saudara laki - laki sekandung

6. Saudara laki - laki sebapak

7. Anak saudara laki - laki kandung

8. Anak laki - laki kandung

9. Paman yang sekandung dengan bapak

10. Paman yang sebapak dengan bapak

11. Anak laki - laki paman yang sekandung dengan bapak

12. Anak laki - laki paman yang sebapak dengan bapak

Asabah - asabah tersebut dinamakan asabah binafsih, karena mereka langsung menjadi asabah tanpa disebabkan oleh orang lain. Apabila asabah tersebut diatas semuanya ada, maka tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang ( asabah ) yang lebih dekat dengan pertaliannya, dengan orang yang meninggal itu. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut yang tersebut diatas.

Jika ahli waris yang ditinggalkan itu anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta atau semua sisa. Cara pembagiannya ialah untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.

Artinya:”Allah telah menetapkan tentang pembagian harta warisan terhadap anak-anak. Untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan.” ( QS. An Nisa:11 )

B. Asabah Bilgair

Perempuan juga ada yang menjadi asabah dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah dengan ketentuan bahwa untuk laki-laki mendapat dua kali lipat perempuan

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki yang dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah

3. Saudara laki-laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah

4. Saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah

Keempat macam asabah diatas dinamakan asabah bilgair ( asabah dengan sebab orang lain ). Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara pembagiannya adalah untuk saudara laki - laki dua kali lipat perempuan( QS.An Nisa:176 )

C. Asabah Ma’algair

Selain daripada yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua lagi asabah yang dinamakan asabah ma’algair ( asabah bersama orang lain ). Asabah ini hanya dua macam, yaitu sebagai berikut:

1. Saudara perempuan sekandung apabila ahli warisnya saudara perempuan sekandung ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ) atau saudara perempuan sekandung dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.

2. Saudara perempuan sebapak apabila ahli saudara perempuan sebapak ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ), atau saudara perempuan sebapak dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Jadi, saudara perempuan sekandung atau sebapak dapat menjadi asabah ma’algair apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Akan tetapi, apabila mereka mempunyai saudara laki - laki maka kedudukannya berubah menjadi asabah bilgair ( saudara perempuan menjadi asabah karena ada saudara laki - laki ).

3.Hijab dan Mahjub

Hijab ( penghalang ), yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh tidak dapat menerima, atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang.

Hijab dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

1. Hijab hirma,yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sama sekali tidak menerima bagian. Contohnya, kakek terhalang oleh bapak, dan cucu terhalang oleh anak

2. Hijab nuqsan ( mengurangi ), yaitu ahli waris lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh bagiannya berkurang Contoh, jika jenazah meninggalkan anaknya, suami mendapat 1/4, dan jika tidak meninggalkan anak mendapat 1/2

Mahjub ( terhalang ), ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris waris yang lebih dekat sehingga sama sekali tidak dapat menerima, atau menerima, tetapi bagiannya berkurang

4. Batalnya Hak Menerima Waris

Sekalipun berhak menerima waris yang seseorang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal karena hal - hal berikut ini.

1. Tidak beragama islam. Hukum islam hanya untuk umat islam, maka seorang bapak yang tidak beragama islam tidak mewarisi harta anaknya yang beragama islam, demikian juga sebaliknya

2. Murtad dari agama islam. Sekalipun mulanya beragama islam, tetapi kemudian pindah agama lain, maka ia tidak berhak lagi mempusakai harta keluarganya yang beragama islam

3. Membunuh. Orang yang membunuh tidak berhak mendapat harta waris dari orang yang dibunuhnya sebagaimana sabda Rasulullah.,”Tidaklah si pembunuh mewarisi harta orang yang dibunuhnya,sedikitpun. “( HR.Ahli Hadits )

4. Menjadi hamba. Seseorang yang menjadi hamba orang lain tidak berhak menerima harta waris dari keluarganya karena harta harta tersebut akan jatuh pula ketangan orang yang menjadi majikannya ( lihat QS.An Nahl:75 )

D. Ketentuan Tentang Harta Sebelum Pembagian Warisan

Pada saat jenazah telah dimakamkan, sebelum dilaksanakan pembagian warisan, pihak keluarga atau ahli waris terlebih dulu harus menyelesaikan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan, yaitu sebagai berikut:

1. Zakat, apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakat harta, maka harta peninggalan dikeluarkan untuk zakat mal terlebih dahulu atau zakat fitrah

2. Hutang, apabila si jenazah meninggalkan hutang, maka hutang itu harus dibayar lebih dulu

3. Biaya perawatan, yaitu pembelanjaan yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan pengurusan jenazah seperti membeli kain kafan dan biaya penguburan hingga si jenazah selesai dimakamkan

4. Membayar wasiat, apabila sebelum meninggal ia berwasiat, maka harus dibayarkan lebih dulu, asalkan tidak melebihi⅓ harta peninggalan. Berwasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris karena mereka telah mendapat bagian dari harta warisan yang akan ditinggalkannya. Lain halnya semua ahli waris setuju bahwa sebagian dari harta peninggalan itu boleh di wasiatkan kepada seseorang di antara mereka

5. Memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan belum sempat dilaksanakan. Misalnya, nazar untuk mewakafkan sebidang tanahnya, dan nazar untuk ibadah haji.

Apabila semua hak yang tersebut di atas telah di selesaikan semuanya, maka harta warisan yang masih ada dapat dibagi - bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.

E. Perhitungan Dalam Pembagian Warisan

Jika seseorang meninggal dunia, kemudian ada ahli waris yang mendapat 1/6 bagian, dan seorang lagi mendapat 1/4 bagian, maka pertama - tama harus dicari KPK ( kelipatan persekutuan terkecil ) dari pembilang 6 dan 4, yaitu bilangan 12. Didalam ilmu faraid, KPK disebut asal masalah.

Asal masalah dalam ilmu faraid ada 7 macam, yaitu 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24.

Contoh kasus 1.

Ada seseorang perempuan meninggal dunia, ahli warisnya adalah bapak, ibu, suami, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Harta peninggalannya sebanyak Rp 1.800.000. Berapakah bagian masing - masing ahli waris?

Bapak = 1/6 ( karena ada anak laki-laki )

Ibu = 1/6 ( karena ada anak )

Suami = 1/4 ( karena ada anak )

Anak = Asabah ( karena ada anak laki-laki dan perempuan )

Asal masalah (KPK) = 12

Bapak = 1/6 * 12 = 2

Ibu = 1/6 * 12 = 2

Suami = 1/4 * 12 = 3

Jumlah = 7

Sisa ( bagian anak ) = 12 – 7 = 5

Bagian bapak = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000

Bagian ibu = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000

Bagian suami = 3/12*Rp 1.800.000 = Rp 450.000

Bagian anak = 5/12*Rp 1.800.000 = Rp 750.000

Untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan sehingga dua anak laki-laki mendapat empat bagian dan seorang anak perempuan mendapat satu bagian. Harga warisan sisanya dibagi lima(5).

Bagian seorang anak laki-laki =2/5 * Rp750.000 = Rp300.000

Bagian seorang anak perempuan =1/5 * Rp750.000 = Rp150.000

Didalam praktek pelaksanaan pembagian harta warisan, sering di jumpai kasus kelebihan atau kekurangan harta sehingga pembagian harta waris memerlukan metode perhitungan yang tepat.

Sebagaimana contoh 1, sebelum memulai pembagian harta warisan, lebih dulu harus ditetapkan angka asal masalah, yaitu mencari angka ( kelipatan persekutuan ) terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris guna memudahkan dalam operasional hitungan. Misalnya bagian ahli waris 1/2 dan 1/3, angka asal masalahnya ( KPK ) adalah 6 karena 6 dapat dibagi 2 dan 3 ( penyebutnya ). Bagian ahli waris 1/4, 2/3, 1/6, 1/4 angka asal masalahnya adalah 12 karena angka 12 dapat dibagi 2, 3, dan 6. Bagian ahli waris 1/8 dan 2/3, angka masalahnya 24 karena angka 24 dapat dibagi 8 dan 3. Demikian seterusnya.

Contoh kasus 2.

A. Seseorang meninggal dunia, mewarisi harta sebesar Rp 12.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami, anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan sekandung, masing-masing mendapat bagian 3-6-2-1. Pembagiannya adalah sebagai berikut:

_, Suami ( 1/4 ) = 3/12 * Rp 12.000.000 = Rp 3.000.000

_, Anak perempuan ( 1/2 ) = 6/12 * Rp 12.000.000 = Rp 6.000.000

_, Cucu perempuan ( 1/6 ) = 2/12 * Rp 12.000.000 = Rp 2.000.000

_, Saudara perempuan (1/2)= 1/12 * Rp 12.000.000 = Rp 1.000.000

B. Seseorang meninggal dunia meninggalkan harta warisan sebesar Rp 36.000.000 dan ahli waris terdiri dari ibu, suami, dan dua saudara seibu, masing-masing mendapat bagian 1, 3, 2, pembagiannya adalah P:

_, Ibu (1/6) = 1/6 * Rp 36.000.000 = Rp 6.000.000

_, Suami (1/2) = 3/6 * Rp 36.000.000 = Rp 18.000.000

_, 2 Saudara (1/3) = 2/6 * Rp 36.000.000 = Rp 12.000.000

C. Si pulan meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai Rp 14.400.000 dan meninggalkan ahli waris terdiri dari istri, cucu perempuan serta ibu masing-masing mendapat bagian 3, 12, 4, pembagian sebagai berikut:

_, Istri (1/8) = 3/24 * Rp 14.400.000 = Rp 1.800.000

_, Cucu perempuan (1/2) = 12/24 * Rp 14.400.000= Rp 7.200.000

_, Ibu (1/6) = 4/24 * Rp 14.400.000 = Rp 2.400.000

Keterangan sisa harta Rp 3.000.000 diberikan kepada baitul mal.

Hal-hal yang harus kita perhatikan sebelum menghitung pembagian hak waris adalah sebagai berikut:

1. Supaya diperhatikan susunan ahli waris, apakah ada yang terhalang ( mahjub ) atau tidak ( gairu mahjub )

2. Kita harus bisa membedakan atau memisahkan antara ahli waris zawil furud atau asabah. Jika ternyata ada asabah lebih dari 1 kelompok maka asabah yang urutannya lebih besar atau jauh supaya mengalah, dan turun derajatnya menjadi ahli waris zawil furud.

F. Hukum Adat Tentang Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam

Pembagian harta warisan menurut hukum adat biasanya dilakukan atas dasar kekeluargaan dan kerukunan serta keadilan antara para ahli waris. Masalah pihak yang berhak memperoleh warisan, biasanya diutamakan mereka yang paling dekat dengan si jenazah, bahkan secara adat biasanya anak angkatpun memperoleh warisan karena kedekatannya itu.

Menurut hukum adat, harta peninggalan itu terdiri dari:

1. Harta peninggalan yang tidak dibagi( contohnya harta pusaka menurut adat Minang Kabau )

2. Harta benda yang dibagi, yaitu:

a. Harta yang diberikan orang tua pada waktu mereka masih hidup. Dalam hal ini ayah membagi-bagikan harta kekayaannya kepada anak - anaknya atas dasar persamaan hak.

b. Harta yang diwariskan sewaktu orang tua masih hidup, tetapi penyerahannya dilakukan setelah ayah atau ibu wafat.

Pembagian harta warisan secara adat di beberapa daerah bermacam-macam bentuknya sesuai dengan karakter daerahnya masing-masing. Contonya di Aceh, pekarangan rumah peninggalan harus diberikan kepada anak perempuan yang tertua, sedangkan di daerah Sumatra utara ( Batak ), pekarangan rumah harus diberikan kepada anak laki-laki tertua atau termuda, sedangkan benda-benda keramat untuk anak laki-laki dan benda-benda perhiasan untuk perempuan.

1. Hukum Adat Yang Sesuai Dengan Hukum Islam

Sebagaiman telah disebutkan diatas, bahwa hukum waris yang diundangkan oleh islam terdapat 2 macam kebaikan:

a. Islam mengikut sertakan kaum wanita sebagai ahli waris sebagaimana kaum pria

b. Islam membagi harta warisan kepada segenap ahliu waris secara demokratis dan adil.

Dalam pembagian harta, biasanya berpijak pada dasar pemikiran yang konkret, yakni memandang kepada wujud harta yang di tinggalkan sehingga harta peninggalan itu tidak diperhitungkan secara rinci sesuai aturan agama. Pembagian dilakukan menurut keadaan bendanya dengan pembagian yang dipandang wajar misalnya ada yang memperoleh rumah, sawah, mobil, dan gedung.

Menurut hukum adat, penbagian harta warisan dilakukan setelah dibayarkan hutang-hutang dan sangkut paut lainnya dari orang yang meninggal. Oleh karena itu, hukum adat tersebut diatas mempunyai kemiripan, dan ketentuannya yang di benarkan oleh hukum waris menurut ajaran agama islam.

2. Hukum Adat Yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam

Adapun hukum adat yang tidak sesuai dengan ajaran islan adalah apabila pembagiannya hanya berdasarkan nafsu atau ketidakadilan, seperti halnya hanya memiih-milih atau terpaksa memberikan warisan karena adanya ancaman dari pihak ahli waris. Salah satu contoh yang tidak sesuai dengan hukum islam, antara lain anak angkat mendapat warisan, anak perempuan lebih banyak mendapatkan harta warisan dari anak-anak laki-laki, atau pembagian harta warisan tanpa ada musyawarah ( mufakat ) lebih dulu.

G. Hikmah Mawaris

Beberapa hikmah yang dapat diambil dari pengaturan waris menurut islam antara lain sebagai berikut:

1. Dengan adanya ketentuan waris itu disamping akan membawa keteraturan dan ketertiban dalam hal harta benda, juga untuk memelihara harta benda dari satu generasi ke generasi lain.

2. Dapat menegakan nilai-nilai perikemanusiaan, kebersamaan, dan demokratis di antara manusia, khususnya dalam soal yang menyangkut harta benda.

3. Dengan mempelajari ilmu waris berarti seorang muslim telah ikut memelihara dan melaksakan ketentuan-ketentuan dari Allah swt. Yang terdapat dalam Al Qur’an.

4. Menghindarkan perpecahan antar keluarga yang disebabkan oleh pembagian harta warisan yang tidak adil. Mengalirkan harta peninggalan kepada yang lebih bermanfa’at agar lebih terjaminnya kesejahteraan keluarga secara merata.

5. Memelihara harta peninggalan dengan baik sehingga harta itu menjadi amal jariah bagi si jenazah.

6. Memperhatikan anak yatim karena dengan harta yang di tinggalkan oleh orang tuanya kehidupan anak - anak yang di tinggalkan itu akan lebih terjamin.

7. Dengan pembagian yang merata sesuai dengan syariat, maka masing-masing anggota keluarga akan merasakan suatu kepuasan sehingga dapat hidup dengan tentram.

8. Dengan mengetahui ilmu mawaris, maka setiap anggota keluarga akan memahami hak-hak dirinya dan hak-hak orang lain, sehingga tidak akan terjadi perebutan terhadap harta warisan tersebut.

Rangkuman

1. Mawaris adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara pembagian harta warisan. Mawaris sering disebut ilmu Fara’id karena mempelajari pembagian-pembagian penerima yang sudah ditentukan sehingga ahli waris tidak boleh mengambil harta waris melebihi ketentuan.

2. Ahli waris zawil furud adalah para ahli waris yang bagian-bagian penerimaannya sudah ditentukan. Ahli waris asabah adalah para ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan, tetapi menerima dan menghabiskan sisanya. Hijab atau penghalang adalah ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh tidak menerima atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang. Mahjub atau Terhalang adalah ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat sehingga tidak dapat menerima atau menerima, tetapi berkurang bagiannya.

3. Sekalipun mempunyai hak menerima waris dari seseorang yang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal karena tidak beragama islam, murtad dari agama islam, membunuh, atau menjadi hamba.

4. Pihak keluarga atau ahli waris terlebih dulu harus menyelesaikan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan, yaitu , zakat, hutang, biaya perawatan, membayar wasiat, dan memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan belum sempat dilaksanakan.

Minggu, 24 Mei 2009

Pengertian Mawaris

Islam sebagai ajaran yang universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil - adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan.

Pembagian harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan. Dengan adanya system pembagian harta warisan tersebut menunjukan bahwa islam adalah agama yang tertertib,teratur dan damai. Pihak-pihak yang berhak menerima warisan dan cara pembagiannya itulah yang perlu kita pelajari pada bab ini.

A. Pengertian Mawaris

Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti mempusakai harta orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk mendapat bagian dari harta peninggalan

orang yang telah meninggal. Ahli waris dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan ( lihat QS:Al - baqarah : 188 ). Karena sensitif atau rawannya masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.

Ahli waris laki-laki ada 15 orang, yaitu sebagai berikut:

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah

3. Bapak

4. Kakak dari bapak dan terus keatas

5. Saudara laki-laki sekandung

6. Saudara laki-laki sebapak

7. Saudara laki-laki seibu

8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung

9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak

10. Paman yang sekandung dengan bapak

11. Paman yang sebapak dengan bapak

12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak

13. Anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak

14. Suami

15. Laki-laki yang memerdekakan si pewaris

( Keterangan no.1 – 13 berdasarkan pertalian darah. Jika lima belas orang itu ada, maka yang dapat menerima hanya tiga, yaitu anak laki-laki, suami, dan bapak ).

Ahli waris perempuan ada 10, yaitu sebagai berikut:

1. Anak perempuan

2. Cucu perempuan dari anak laki-laki

3. Ibu

4. Nenek dari ibu

5. Nenek dari bapak

6. Saudara perempuan kandung

7. Saudara perempuan bapak

8. Saudara perempuan seibu

9. Istri

10. Wanita yang memerdekakan si pewaris

( Keterangan no.1 - 8 berdasarkan pertalian darah. Jika 10 orang itu ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya lima orang yaitu, Istri, anak perempuan, ibu, cucu perempuan, dan saudara perempuan kandung )

Jika 25 ahli waris itu ada, maka yang bisa menerimanya hanya lima orang yaitu, suami atau istri, ibu, bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.

B. Dalil Tentang Mawaris

1. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan sebagaimana yang telah ditetapkan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits.

Artinya:”Bagi orang yang laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya.baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”( QS. An Nissa:7 )

Selanjutnya lihat pula Qs. An Nissa ayat 11, 12, dan 176.

2. Dari hadits Rasulullah saw, ada yang menerangkan bagian warisan untuk saudara perempuan yang lebih dua orang, bagian nenek dari bapak dan dari ibu serta bagian cucu perempuan dari anak laki - laki dan lain-lain.

Zaid bin sabit adalah sahabat Rasulullah saw.dari kalangan Anshar yang berasal dari suku khajraj. Ia lahir di madinah tahun 11 SH/611M. Ia masuk islam pada tahun pertama hijriyah dan menjadi sekretaris Rasulullah saw. Untuk menulis wahyu yang turun, menulis surat - surat untuk pembesar kaum yahudi serta menjadi penyusun mushaf di masa khalifah Abu Bakar As Siddiq. Ia dikenal sangat ahli dalam ilmu Al Qur’an, tafsir, hadits dan khususnya faraid sehingga dijuluki Ulama masyarakat. Pada masa khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, ia menjabat sebagai mufti ( ahli fatwa ) yang paling berpengaruh dalam bidang faraid, bahwa Rasulullah sendiri pernah bersabda, ”Yang paling ahli dalam ilmu faraid di antara kalian adaah Zaid bin Sabit.”( HR.Ibnu Majah dan Ahmad bin Hambal ). Zaid bin Sabit wafat di Madinah pada tahun 45H/665M.

Artinya:” Sesungguhnya hak wali adalah untuk orang yang memerdekakan.”( Muttafakun alaih )

Artinya:” Berikan warisan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan sisanya untuk orang laki-laki yang paling berhak.”( Muttafakun alaih )

Artinya:” Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada orang yang memiliki hak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”( HR.Abu Daud )

C. Ketentuan Hukum Islam Tentang Mawaris

Berdasarkan ketentuan perolehan atau bagian dari harta warisan, ahli waris dapat dikatagorikan menjadi 2 golongan,yaitu sebagai berikut :

1. Zawil Furud

Zawil Furud adalah ahli waris yang perolehan harta warisannya sudah ditentukan oleh dalil Al Quran dan Hadits (lihat QS.An Nissa:11, 12, dan 176). Dari ayat Al Qur’an tersebut, dapat diuraikan orang yang mendapat seperdua, seperempat, dan seterusnya.

A. Ahli waris yang mendapat ½ , yaitu sebagai berikut:

1). Anak pempuan tunggal

2). Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki

3). Saudara perempuan tunggal yang sekandung

4). Saudara perempuan tunggal yang sebapak apabila saudara perempuan yang sekandung tidak ada

5). Suami apabila istrinya tidak mempunyai anak, atau cucu (laki-laki ataupun perempuan) dari anak laki-laki

B. Ahli waris yang mendapat 1/4, yaitu sebagai berikut:

1). Suami apabila istrinya mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki

2). Istri ( seorang atau lebih ) apabila suaminya tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki

C. Ahli waris yang mendapat 1/8, yaitu istri ( seorang atau lebih ) apabila suami mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki

D. Ahli waris yang mendapat 2/3, yaitu sebagai berikut:

1. Dua orang anak perempuan atau lebih apabila tidak ada anak laki-laki ( menurut sebagian besar ulama )

2. Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki apabila anak perempuan tidak ada

( diqiyaskan kepada anak perempuan )

3. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sekandung ( seibu sebapak )

4. Dua orang saudara perempuan atau lebih yang sebapak

E. Ahli waris yang mendapat 1/3, yaitu sebagai berikut:

1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu, atau dia tidak saudara - saudara ( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau yang seibu

2. Dua orang atau lebih ( laki-laki atau perempuan ) yang seibu apabila tidak ada anak atau cucu atau anak

F. Ahli waris yang mendapat 1/6, yaitu sebagai berikut:

1. Ibu, apabila anaknya yang meninggal itu mempunyai cucu ( dari anak laki-laki ) atau mempunyai saudara-saudara( laki-laki atau perempuan ) yang sekandung, yang sebapak atau seibu

2. Bapak, apabila anaknya yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( laki-laki atau perempu an ) dari anak laki-laki

3). Nenek ( ibu dari ibu atau ibu dari bapak ). Nenek mendapat 1/6 apabila ibu tidak ada. Jika nenek dari bapak atau ibu masih ada, maka keduanya mendapat bagian yang sama dari bagian yang 1/6 itu

4). Cucu perempuan ( seorang atau lebih ) dari laki-laki apabila orang yang meninggal mempunyai anak tunggal. Akan tetapi, apabila anak perempuan lebih dari seorang, maka cucu perempuan tidak mendapat apa-apa

5). Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu ( dari anak laki-laki ), sedangkan bapaknya tidak ada

6). Seorang saudara ( laki-laki atu perempuan ) yang seibu

7). Saudara perempuan yang sebapak ( seorang atau lebih ) apabila saudaranya yang meninggal itu mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Ketentuan pembagian seperti itu dimaksudkan untuk menggenapi jumlah bagian saudara kandung dan saudara sebapak menjadi 2/3 bagian. Apabila saudara kandungnya ada dua orang atau lebih, maka saudara sebapak tidak mendapat bagian

2. Asabah

Asabah adalah ahli waris yang bagian penerimanya tidak ditentukan, tetapi menerima dan menghabiskan sisanya. Apabila yang meninggal itu tidak mempunyai ahli waris yang mendapat bagian tertentu ( zawil furud ), maka harta peninggalan itu semuanya diserahkan kepada asabah. Akan tetapi apabila ada diantara ahli waris yang mendapat bagian tertentu, maka sisanya menjadi bagian asabah yang dibagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:

A. Asabah binafsih

Asabah binafsih yaitu asabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, diatur menurut susunan sebagai berikut:

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus kebawah asal saja pertaliannya masih terus laki – laki

3. Bapak

4. Kakek ( datuk ) dari pihak bapak dan terus keatas, asal saja pertaliannya belum putus dari pihak bapak

5. Saudara laki - laki sekandung

6. Saudara laki - laki sebapak

7. Anak saudara laki - laki kandung

8. Anak laki - laki kandung

9. Paman yang sekandung dengan bapak

10. Paman yang sebapak dengan bapak

11. Anak laki - laki paman yang sekandung dengan bapak

12. Anak laki - laki paman yang sebapak dengan bapak

Asabah - asabah tersebut dinamakan asabah binafsih, karena mereka langsung menjadi asabah tanpa disebabkan oleh orang lain. Apabila asabah tersebut diatas semuanya ada, maka tidak semua dari mereka mendapat bagian, akan tetapi harus didahulukan orang-orang ( asabah ) yang lebih dekat dengan pertaliannya, dengan orang yang meninggal itu. Jadi, penentuannya diatur menurut nomor urut yang tersebut diatas.

Jika ahli waris yang ditinggalkan itu anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta atau semua sisa. Cara pembagiannya ialah untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan.

Artinya:”Allah telah menetapkan tentang pembagian harta warisan terhadap anak-anak. Untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan.” ( QS. An Nisa:11 )

B. Asabah Bilgair

Perempuan juga ada yang menjadi asabah dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah dengan ketentuan bahwa untuk laki-laki mendapat dua kali lipat perempuan

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki yang dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah

3. Saudara laki-laki sekandung juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah

4. Saudara laki-laki sebapak juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi asabah

Keempat macam asabah diatas dinamakan asabah bilgair ( asabah dengan sebab orang lain ). Jika ahli waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara pembagiannya adalah untuk saudara laki - laki dua kali lipat perempuan( QS.An Nisa:176 )

C. Asabah Ma’algair

Selain daripada yang telah disebutkan sebelumnya, ada dua lagi asabah yang dinamakan asabah ma’algair ( asabah bersama orang lain ). Asabah ini hanya dua macam, yaitu sebagai berikut:

1. Saudara perempuan sekandung apabila ahli warisnya saudara perempuan sekandung ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ) atau saudara perempuan sekandung dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Sesudah ahli waris yang lain mengambil bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.

2. Saudara perempuan sebapak apabila ahli saudara perempuan sebapak ( seorang atau lebih ) dan anak perempuan ( seorang atau lebih ), atau saudara perempuan sebapak dan cucu perempuan ( seorang atau lebih ), maka saudara perempuan menjadi asabah ma’algair. Jadi, saudara perempuan sekandung atau sebapak dapat menjadi asabah ma’algair apabila mereka tidak mempunyai saudara laki-laki. Akan tetapi, apabila mereka mempunyai saudara laki - laki maka kedudukannya berubah menjadi asabah bilgair ( saudara perempuan menjadi asabah karena ada saudara laki - laki ).

3.Hijab dan Mahjub

Hijab ( penghalang ), yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh tidak dapat menerima, atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang.

Hijab dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

1. Hijab hirma,yaitu ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sama sekali tidak menerima bagian. Contohnya, kakek terhalang oleh bapak, dan cucu terhalang oleh anak

2. Hijab nuqsan ( mengurangi ), yaitu ahli waris lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh bagiannya berkurang Contoh, jika jenazah meninggalkan anaknya, suami mendapat 1/4, dan jika tidak meninggalkan anak mendapat 1/2

Mahjub ( terhalang ), ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris waris yang lebih dekat sehingga sama sekali tidak dapat menerima, atau menerima, tetapi bagiannya berkurang

4. Batalnya Hak Menerima Waris

Sekalipun berhak menerima waris yang seseorang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal karena hal - hal berikut ini.

1. Tidak beragama islam. Hukum islam hanya untuk umat islam, maka seorang bapak yang tidak beragama islam tidak mewarisi harta anaknya yang beragama islam, demikian juga sebaliknya

2. Murtad dari agama islam. Sekalipun mulanya beragama islam, tetapi kemudian pindah agama lain, maka ia tidak berhak lagi mempusakai harta keluarganya yang beragama islam

3. Membunuh. Orang yang membunuh tidak berhak mendapat harta waris dari orang yang dibunuhnya sebagaimana sabda Rasulullah.,”Tidaklah si pembunuh mewarisi harta orang yang dibunuhnya,sedikitpun. “( HR.Ahli Hadits )

4. Menjadi hamba. Seseorang yang menjadi hamba orang lain tidak berhak menerima harta waris dari keluarganya karena harta harta tersebut akan jatuh pula ketangan orang yang menjadi majikannya ( lihat QS.An Nahl:75 )

D. Ketentuan Tentang Harta Sebelum Pembagian Warisan

Pada saat jenazah telah dimakamkan, sebelum dilaksanakan pembagian warisan, pihak keluarga atau ahli waris terlebih dulu harus menyelesaikan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan, yaitu sebagai berikut:

1. Zakat, apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakat harta, maka harta peninggalan dikeluarkan untuk zakat mal terlebih dahulu atau zakat fitrah

2. Hutang, apabila si jenazah meninggalkan hutang, maka hutang itu harus dibayar lebih dulu

3. Biaya perawatan, yaitu pembelanjaan yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan pengurusan jenazah seperti membeli kain kafan dan biaya penguburan hingga si jenazah selesai dimakamkan

4. Membayar wasiat, apabila sebelum meninggal ia berwasiat, maka harus dibayarkan lebih dulu, asalkan tidak melebihi⅓ harta peninggalan. Berwasiat tidak dibenarkan kepada ahli waris karena mereka telah mendapat bagian dari harta warisan yang akan ditinggalkannya. Lain halnya semua ahli waris setuju bahwa sebagian dari harta peninggalan itu boleh di wasiatkan kepada seseorang di antara mereka

5. Memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan belum sempat dilaksanakan. Misalnya, nazar untuk mewakafkan sebidang tanahnya, dan nazar untuk ibadah haji.

Apabila semua hak yang tersebut di atas telah di selesaikan semuanya, maka harta warisan yang masih ada dapat dibagi - bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.

E. Perhitungan Dalam Pembagian Warisan

Jika seseorang meninggal dunia, kemudian ada ahli waris yang mendapat 1/6 bagian, dan seorang lagi mendapat 1/4 bagian, maka pertama - tama harus dicari KPK ( kelipatan persekutuan terkecil ) dari pembilang 6 dan 4, yaitu bilangan 12. Didalam ilmu faraid, KPK disebut asal masalah.

Asal masalah dalam ilmu faraid ada 7 macam, yaitu 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24.

Contoh kasus 1.

Ada seseorang perempuan meninggal dunia, ahli warisnya adalah bapak, ibu, suami, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Harta peninggalannya sebanyak Rp 1.800.000. Berapakah bagian masing - masing ahli waris?

Bapak = 1/6 ( karena ada anak laki-laki )

Ibu = 1/6 ( karena ada anak )

Suami = 1/4 ( karena ada anak )

Anak = Asabah ( karena ada anak laki-laki dan perempuan )

Asal masalah (KPK) = 12

Bapak = 1/6 * 12 = 2

Ibu = 1/6 * 12 = 2

Suami = 1/4 * 12 = 3

Jumlah = 7

Sisa ( bagian anak ) = 12 – 7 = 5

Bagian bapak = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000

Bagian ibu = 2/12*Rp 1.800.000 = Rp 300.000

Bagian suami = 3/12*Rp 1.800.000 = Rp 450.000

Bagian anak = 5/12*Rp 1.800.000 = Rp 750.000

Untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian anak perempuan sehingga dua anak laki-laki mendapat empat bagian dan seorang anak perempuan mendapat satu bagian. Harga warisan sisanya dibagi lima(5).

Bagian seorang anak laki-laki =2/5 * Rp750.000 = Rp300.000

Bagian seorang anak perempuan =1/5 * Rp750.000 = Rp150.000

Didalam praktek pelaksanaan pembagian harta warisan, sering di jumpai kasus kelebihan atau kekurangan harta sehingga pembagian harta waris memerlukan metode perhitungan yang tepat.

Sebagaimana contoh 1, sebelum memulai pembagian harta warisan, lebih dulu harus ditetapkan angka asal masalah, yaitu mencari angka ( kelipatan persekutuan ) terkecil yang dapat dibagi oleh masing-masing angka penyebut dari bagian ahli waris guna memudahkan dalam operasional hitungan. Misalnya bagian ahli waris 1/2 dan 1/3, angka asal masalahnya ( KPK ) adalah 6 karena 6 dapat dibagi 2 dan 3 ( penyebutnya ). Bagian ahli waris 1/4, 2/3, 1/6, 1/4 angka asal masalahnya adalah 12 karena angka 12 dapat dibagi 2, 3, dan 6. Bagian ahli waris 1/8 dan 2/3, angka masalahnya 24 karena angka 24 dapat dibagi 8 dan 3. Demikian seterusnya.

Contoh kasus 2.

A. Seseorang meninggal dunia, mewarisi harta sebesar Rp 12.000.000. Ahli warisnya terdiri dari suami, anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan sekandung, masing-masing mendapat bagian 3-6-2-1. Pembagiannya adalah sebagai berikut:

_, Suami ( 1/4 ) = 3/12 * Rp 12.000.000 = Rp 3.000.000

_, Anak perempuan ( 1/2 ) = 6/12 * Rp 12.000.000 = Rp 6.000.000

_, Cucu perempuan ( 1/6 ) = 2/12 * Rp 12.000.000 = Rp 2.000.000

_, Saudara perempuan (1/2)= 1/12 * Rp 12.000.000 = Rp 1.000.000

B. Seseorang meninggal dunia meninggalkan harta warisan sebesar Rp 36.000.000 dan ahli waris terdiri dari ibu, suami, dan dua saudara seibu, masing-masing mendapat bagian 1, 3, 2, pembagiannya adalah P:

_, Ibu (1/6) = 1/6 * Rp 36.000.000 = Rp 6.000.000

_, Suami (1/2) = 3/6 * Rp 36.000.000 = Rp 18.000.000

_, 2 Saudara (1/3) = 2/6 * Rp 36.000.000 = Rp 12.000.000

C. Si pulan meninggal dunia meninggalkan harta warisan senilai Rp 14.400.000 dan meninggalkan ahli waris terdiri dari istri, cucu perempuan serta ibu masing-masing mendapat bagian 3, 12, 4, pembagian sebagai berikut:

_, Istri (1/8) = 3/24 * Rp 14.400.000 = Rp 1.800.000

_, Cucu perempuan (1/2) = 12/24 * Rp 14.400.000= Rp 7.200.000

_, Ibu (1/6) = 4/24 * Rp 14.400.000 = Rp 2.400.000

Keterangan sisa harta Rp 3.000.000 diberikan kepada baitul mal.

Hal-hal yang harus kita perhatikan sebelum menghitung pembagian hak waris adalah sebagai berikut:

1. Supaya diperhatikan susunan ahli waris, apakah ada yang terhalang ( mahjub ) atau tidak ( gairu mahjub )

2. Kita harus bisa membedakan atau memisahkan antara ahli waris zawil furud atau asabah. Jika ternyata ada asabah lebih dari 1 kelompok maka asabah yang urutannya lebih besar atau jauh supaya mengalah, dan turun derajatnya menjadi ahli waris zawil furud.

F. Hukum Adat Tentang Warisan Dalam Pandangan Hukum Islam

Pembagian harta warisan menurut hukum adat biasanya dilakukan atas dasar kekeluargaan dan kerukunan serta keadilan antara para ahli waris. Masalah pihak yang berhak memperoleh warisan, biasanya diutamakan mereka yang paling dekat dengan si jenazah, bahkan secara adat biasanya anak angkatpun memperoleh warisan karena kedekatannya itu.

Menurut hukum adat, harta peninggalan itu terdiri dari:

1. Harta peninggalan yang tidak dibagi( contohnya harta pusaka menurut adat Minang Kabau )

2. Harta benda yang dibagi, yaitu:

a. Harta yang diberikan orang tua pada waktu mereka masih hidup. Dalam hal ini ayah membagi-bagikan harta kekayaannya kepada anak - anaknya atas dasar persamaan hak.

b. Harta yang diwariskan sewaktu orang tua masih hidup, tetapi penyerahannya dilakukan setelah ayah atau ibu wafat.

Pembagian harta warisan secara adat di beberapa daerah bermacam-macam bentuknya sesuai dengan karakter daerahnya masing-masing. Contonya di Aceh, pekarangan rumah peninggalan harus diberikan kepada anak perempuan yang tertua, sedangkan di daerah Sumatra utara ( Batak ), pekarangan rumah harus diberikan kepada anak laki-laki tertua atau termuda, sedangkan benda-benda keramat untuk anak laki-laki dan benda-benda perhiasan untuk perempuan.

1. Hukum Adat Yang Sesuai Dengan Hukum Islam

Sebagaiman telah disebutkan diatas, bahwa hukum waris yang diundangkan oleh islam terdapat 2 macam kebaikan:

a. Islam mengikut sertakan kaum wanita sebagai ahli waris sebagaimana kaum pria

b. Islam membagi harta warisan kepada segenap ahliu waris secara demokratis dan adil.

Dalam pembagian harta, biasanya berpijak pada dasar pemikiran yang konkret, yakni memandang kepada wujud harta yang di tinggalkan sehingga harta peninggalan itu tidak diperhitungkan secara rinci sesuai aturan agama. Pembagian dilakukan menurut keadaan bendanya dengan pembagian yang dipandang wajar misalnya ada yang memperoleh rumah, sawah, mobil, dan gedung.

Menurut hukum adat, penbagian harta warisan dilakukan setelah dibayarkan hutang-hutang dan sangkut paut lainnya dari orang yang meninggal. Oleh karena itu, hukum adat tersebut diatas mempunyai kemiripan, dan ketentuannya yang di benarkan oleh hukum waris menurut ajaran agama islam.

2. Hukum Adat Yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam

Adapun hukum adat yang tidak sesuai dengan ajaran islan adalah apabila pembagiannya hanya berdasarkan nafsu atau ketidakadilan, seperti halnya hanya memiih-milih atau terpaksa memberikan warisan karena adanya ancaman dari pihak ahli waris. Salah satu contoh yang tidak sesuai dengan hukum islam, antara lain anak angkat mendapat warisan, anak perempuan lebih banyak mendapatkan harta warisan dari anak-anak laki-laki, atau pembagian harta warisan tanpa ada musyawarah ( mufakat ) lebih dulu.

G. Hikmah Mawaris

Beberapa hikmah yang dapat diambil dari pengaturan waris menurut islam antara lain sebagai berikut:

1. Dengan adanya ketentuan waris itu disamping akan membawa keteraturan dan ketertiban dalam hal harta benda, juga untuk memelihara harta benda dari satu generasi ke generasi lain.

2. Dapat menegakan nilai-nilai perikemanusiaan, kebersamaan, dan demokratis di antara manusia, khususnya dalam soal yang menyangkut harta benda.

3. Dengan mempelajari ilmu waris berarti seorang muslim telah ikut memelihara dan melaksakan ketentuan-ketentuan dari Allah swt. Yang terdapat dalam Al Qur’an.

4. Menghindarkan perpecahan antar keluarga yang disebabkan oleh pembagian harta warisan yang tidak adil. Mengalirkan harta peninggalan kepada yang lebih bermanfa’at agar lebih terjaminnya kesejahteraan keluarga secara merata.

5. Memelihara harta peninggalan dengan baik sehingga harta itu menjadi amal jariah bagi si jenazah.

6. Memperhatikan anak yatim karena dengan harta yang di tinggalkan oleh orang tuanya kehidupan anak - anak yang di tinggalkan itu akan lebih terjamin.

7. Dengan pembagian yang merata sesuai dengan syariat, maka masing-masing anggota keluarga akan merasakan suatu kepuasan sehingga dapat hidup dengan tentram.

8. Dengan mengetahui ilmu mawaris, maka setiap anggota keluarga akan memahami hak-hak dirinya dan hak-hak orang lain, sehingga tidak akan terjadi perebutan terhadap harta warisan tersebut.

Rangkuman

1. Mawaris adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara pembagian harta warisan. Mawaris sering disebut ilmu Fara’id karena mempelajari pembagian-pembagian penerima yang sudah ditentukan sehingga ahli waris tidak boleh mengambil harta waris melebihi ketentuan.

2. Ahli waris zawil furud adalah para ahli waris yang bagian-bagian penerimaannya sudah ditentukan. Ahli waris asabah adalah para ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan, tetapi menerima dan menghabiskan sisanya. Hijab atau penghalang adalah ahli waris yang lebih dekat dapat menghalangi ahli waris yang lebih jauh sehingga ahli waris yang lebih jauh tidak menerima atau bisa menerima, tetapi bagiannya menjadi berkurang. Mahjub atau Terhalang adalah ahli waris yang lebih jauh terhalang oleh ahli waris yang lebih dekat sehingga tidak dapat menerima atau menerima, tetapi berkurang bagiannya.

3. Sekalipun mempunyai hak menerima waris dari seseorang yang meninggal dunia, tetapi hak itu dapat batal karena tidak beragama islam, murtad dari agama islam, membunuh, atau menjadi hamba.

4. Pihak keluarga atau ahli waris terlebih dulu harus menyelesaikan beberapa hal yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan, yaitu , zakat, hutang, biaya perawatan, membayar wasiat, dan memenuhi nazar jenazah ketika masih hidup dan belum sempat dilaksanakan.