Senin, 25 Mei 2009

Wasiat

Wasiat

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan ( tanda – tanda ) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu - bapak dan kaum kerabatnya secara ma'ruf. ( Ini adalah ) kewajiban atas orang - orang yang bertaqwa. ( Al Baqarah : 180 )

1. Arti Dan Pengertian Wasiat
Perkataan wasiat itu berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata was - sha. Artinya menurut ilmu bahasa ialah pesan, petaruh, nasehat, dsb. Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang yang akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya


Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al Quran - seperti yang dikutip di atas - seorang muslim yang sudah merasa ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian ( hibah ) dari hartanya untuk ibu - bapak dan kaum kerabatnya, apabila ia meninggalkan harta yang banyak. Timbul pertanyaan: Mengapa pada ayat tersebut dikhususkan wasiat tentang pemberian harta itu kepada ibu - bapak dan kaum kerabat ( saudara dekat )? Bukankah ibu-bapak itu termasuk ahli waris dari seorang anak yang meninggal, yang sudah ada hak-hak dan bagiannya menurut hukum faraid, pembagian harta pusaka?


Dalam hubungan ini perlu diuraikan lebih dahulu sejarah dan latar belakang turunnya ayat tersebut


Di jaman jahiliyah, kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya, mewasiatkan supaya memberikan hartabendanya kepada orang-orang yang jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu - bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut - sebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati


Untuk menertibkan sikap yang pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah ayat tersebut ( Al Baqarah, ayat 180 ), yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta benda yang ditinggalkan itu untuk ibu - bapak sendiri dan keluarga yang dekat - dekat. Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang terkenal dengan sebutan ayatul - mawarist ( permulaan surat An Nisa ), yang mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan


Dengan turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli - ahli tafsir berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut ( Al Baqarah, ayat 180 ) menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi sebagian ulama - ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Apalagi sewaktu - waktu masih mungkin ditemukan satu kasus yang pemecahannya dapat menggunakan ayat tersebut. Misalnya, kalau yang meninggal dunia itu seorang anak yang sudah masuk Islam, sedang ibu - bapaknya masih memeluk agama lain, maka orang tuanya itu tidak berhak mendapat pembagian harta warisan bila dipandang dari sudut hukum Islam, karena berlainan agama

Dalam kasus yang demikian itu, si anak dapat meninggalkan pesan supaya memberikan sebagian harta benda yang ditinggalkannya untuk orang tuanya itu, asalkan tidak melampaui ketentuan - ketentuan oleh hukum warisan. Dengan demikian, dilihat dari sudut ajaran Islam, anak tersebut, dapat menjalankan petunjuk Ilahi, yang memerintahkan:
"Dan Kami mewajibkan manusia ( berbuat ) kebaikan kepada kedua orang tuanya ( ibu – bapaknya )." ( QS. Al Ankabut : 8 )

2. Syarat - syarat Wasiat


Kecuali dalam Al Quran, pun Hadist Nabi banyak yang menggugah dan mendorong supaya melakukan wasiat itu. Diantaranya:
"Barang siapa mati dengan melakukan wasiat, maka matinya adalah pada jalan Ilahi dan menurut Sunnah, mati dalam keadaan bertakwa dan ( mengucapkan ) Syahadah, mati dengan mendapat ampunan." ( Riwayat Ibn Majah ).

Adapun syarat wasiat itu ialah:
1. Meninggalkan harta yang banyak.
2. Tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta.


Syarat yang pertama dan utama tentang kewajiban melakukan wasiat itu ialah apabila seseorang meninggalkan harta yang banyak. Ukuran mengenai harta yang banyak itu adalah relatif, sehingga berbeda - beda pendapat para ulama dalam menetapkan standar harta yang banyak itu.
Syekh Muhammad Abduh menyatakan, bahwa dalam menetapkan ukuran itu sangat bergantung kepada keadaan dan itikad baik seseorang, dengan memperhatikan keadaan zaman, kepribadian dan lingkungan rumah tangga. Di negeri yang gersang dan miskin, kalau yang mati meninggalkan harta 70 dinar misalnya, itu sudah termasuk dalam bilangan meninggalkan "harta yang banyak". Tetapi, bagi seorang Raja atau Wazir tentu lain pula ukuran yang dipakai menjadi tolok ukur. ( Tafsir Al Manar ).


Dalam hubungan ini, sebagai pedoman dapat digunakan keterangan dari dua buah hadist. Pertama, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sitti Aisyah ( isteri Nabi ), yang menceritakan seorang laki - laki mendatanginya dan menyatakan hasratnya untuk melakukan wasiat. Terjadilah dialog antara Aisyah dengan laki - laki tersebut, sebagai berikut:
"Berapa jumlah hartamu?"
"Tiga ribu dirham"
- sahut laki - laki itu
"Berapa banyak anakmu?"
"Empat orang!"

Aisyah kemudian membaca kalam Ilahi: ".....jika kamu meninggalkan harta yang banyak." Dia berkata seterusnya: "Harta itu ( 3000 dirham ) hanya sedikit. Tinggalkanlah untuk anakmu, itu lebih baik.”

Hadist yang kedua, yang diriwayatkan oleh Baihaqi, menyatakan:
"Ali bin Abi Thalib mendatangi seorang yang pernah mengasuhnya yang sudah dekat mau mati; dia mempunyai uang 600 - 700 dirham. Laki - laki itu bertanya: Haruskan aku berwasiat? Ali menjawab: tidak perlu, karena Allah SWT hanya bersabda "kalau meninggalkan harta yang banyak." Engkau tidak memiliki harta yang banyak; tinggalkanlah harta tersebut untuk ahli warismu."

Dari kedua hadist itu dapat disimpulkan, bahwa ukuran tentang "meninggalkan harta yang banyak" itu haruslah memperhitungkan kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, jangan membuat mereka itu kehilangan atau kekurangan hak menerima bagian harta pusaka.

Syarat yang kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Hal itu dijelaskan dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqash.
Pada suatu ketika, tatkala Sa'ad bin Abi Waqash sendiri merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia menemui Rasulullah dan bertanya:
"Ya, Rasulullah! Apakah boleh aku mewasiatkan seluruh hartaku?"
"Jangan!"
- sahut Rasulullah.
"Kalau separo, bagaimana?"
"Jangan!"
"Jika sepertiga?"
"Masih banyak. Jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka hidup meminta-minta kepada manusia."

Dari hadist ini, maka Jumhur Ulama menarik kesimpulan, bahwa tidak dibolehkan membuat wasiat lebih daripada 1/3 jumlah harta benda.


Di sinilah terletak nilai - nilai keadilan ajaran Islam hyang mempertimbangkan jangan sampai mengurangi hak - hak ahli waris menerima bagian mereka masing - masing, dan dengan sendirinya merugikan mereka.


3. Motif Dan Hikmah Wasiat


Motif dan hikmah melakukan wasiat itu bagi orang yang banyak mempunyai harta kekayaan ialah sebagai tambahan amal yang masih dapat dilakukan seseorang ketika ajalnya sudah hampir dan dekat. Wasiat itu barulah berlaku apabila orang yang bersangkutan sudah meninggal. Pada hakekatnya, wasiat itu adalah semacam hibah ( pemberian ) juga. Perbedaan antara hibah dengan wasiat ialah, bahwa hibah itu dilakukan ( diberikan ) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia masih hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu meninggal dunia.
Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau akan meninggal dunia, sebab memang beliau tidak meninggalkan harta yang banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat - sahabat banyak yang melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddiq yang mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya; Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4 dari kekayaannya. ( Tafsir Qurthubi).


Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama wasiat itu masih dalam batas - batas ketentuan ajaran dan hukum Islam. Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti yang diperingatkan dalam Al-Quran:
"Barangsiapa yang mengubah wasiat ( mengutak - atik wasiat ), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." ( QS. Al Baqarah : 181)

Adapun apabila sesuatu wasiat bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, tentu saja tidak boleh dilaksanakan, malah wajib ditinggalkan. Selain daripada wasiat harta di zaman "sekularisme" ini. Adapula orang yang mewasiatkan kalau dia mati, supaya jenazahnya dibakar, jangan dikuburkan walaupun waktu hidupnya dia mengaku sebagai seorang Islam. Wasiat yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan, karena bila dilaksanakan, maka orang yang menjalankannya akan memikul dosa.


Uraian ini adalah untuk menggugah hartawan Islam atau orang-orang yang merasa mempunyai harta yang banyak agar melakukan wasiat pada saat - saat menjelang kematiannya, sebagai tambahan amal ibadahnya pada detik - detik yang terakhir dari kehidupannya. Semoga kita semua beroleh hikmah setelah membaca uraian ini.

Rangkuman

1. Harta yang hendak diwasiatkan haruslah tidak lebih daripada sepertiga ( 1/3 ) daripada harta pusaka bersih kecuali mendapat persetujuan daripada ahli - ahli waris.

2. Penerimanya hendaklah bukan waris yaitu mereka yang tidak ada hak faraid atas wasiat itu kecuali mendapat persetujuan daripada ahli - ahli waris yang lain.

3. Jika penerima wasiat meninggal dunia, maka wasiat tersebut adalah batal.

4. Jika penerima wasiat meninggal dunia selepas menerima wasiat dan selepas kematian pewasiat, maka haknya boleh diwarisi oleh waris penerima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar